Pada berbagai peradaban kuno, ada kisah tentang dewa atau kultus yang begitu kontroversial hingga penguasa atau masyarakat berusaha menghapus jejaknya dari catatan sejarah. Tentu, “dihapus” di sini bukan berarti dewa tersebut benar-benar lenyap tak berbekas. Biasanya, yang terjadi adalah politik ingatan – upaya sadar untuk menyingkirkan kultus tertentu dari ruang publik dan memori kolektif. Langkah-langkahnya bisa berupa:
-
Penghapusan nama dan ikon (damnatio memoriae): Nama dewa atau tokoh pemujanya dikikis dari prasasti, patung, relief, dan dokumen resmi.
-
Pelarangan ritual dan penutupan kuil: Ibadah resmi dihentikan, kuil dihancurkan atau dialihfungsikan, serta pendeta dan pengikutnya ditekan atau disingkirkan.
-
Stigmatisasi dan propaganda: Teks suci baru atau dekrit pemerintah menggambarkan kultus lama sebagai sesat, jahat, atau terlarang, sehingga masyarakat menjauhinya.
-
Sinkretisme atau substitusi: Atribut dewa yang dihapus kadang diserap ke dewa lain yang disahkan penguasa, atau diganti namanya agar kultus aslinya terlupakan.
Alhasil, jejak tentang dewa kontroversial tersebut sering hanya bertahan secara tersembunyi – misalnya berupa fragmen arkeologis, nama tempat, mitos marjinal, atau catatan dari pihak oposisi. Berikut ini kita akan membahas beberapa contoh terkenal tentang dewa-dewa yang pernah nyaris “dihapus” dari sejarah, mengapa hal itu terjadi, dan bagaimana akhirnya dunia modern mengetahui keberadaan mereka kembali.
Contents
- 1 Aten – Dewa Cakram Matahari yang Nyaris Terhapus di Mesir
- 2 Baal – Dewa Rival yang Dicap Sesat dan Dihapus di Levant
- 3 Elagabal – Dewa Matahari Asing yang Dipaksakan di Roma Lalu Disingkirkan
- 4 Lilith – Dewi Malam yang Dijadikan Iblis dan Dihapus dari Mitologi Arus Utama
- 5 Penutup: Ketika Para Dewa Dihapus, Tapi Tak Pernah Benar-Benar Hilang
Aten – Dewa Cakram Matahari yang Nyaris Terhapus di Mesir

Reformasi Radikal oleh Akhenaten
Salah satu contoh paling dramatis berasal dari Mesir Kuno, dengan sosok Aten – dewa berupa cakram Matahari – yang diprioritaskan oleh Firaun Akhenaten (Amenhotep IV) dalam revolusi agama kontroversialnya. Pada pertengahan abad ke-14 SM, Akhenaten melakukan reformasi radikal: ia meninggalkan politeisme tradisional Mesir dan memusatkan kultus pada Aten sebagai satu-satunya tuhan negara (Wikipedia). Ia bahkan memindahkan ibu kota ke kota baru bernama Akhetaten (sekarang Amarna) demi memuliakan Aten, serta mengganti namanya sendiri dari Amenhotep (“kepuasan Amun”) menjadi Akhenaten (“yang bermanfaat bagi Aten”) sebagai bentuk pengabdian pribadi.
Penyingkiran Dewa-Dewa Lama
Langkah ini menyingkirkan peran para dewa lama (terutama Amun yang sebelumnya merupakan dewa utama Thebes) dan mengguncang tatanan sosial-keagamaan Mesir. Akhenaten memerintahkan penghapusan nama dewa-dewa lama dari kuil-kuil – prasasti menyebut bahwa firaun ini “menghapus nama-nama dewa lain dari kuil” (Britannica). Selama ia berkuasa, Aten menjadi fokus ibadah eksklusif, didukung ikonografi baru (Aten digambarkan sebagai cakram dengan sinar berujung tangan yang memberi ankh kehidupan). Namun, perubahan drastis ini menuai kontroversi dan resistensi pasca kematiannya.
Restorasi dan Penghapusan Jejak Aten
Begitu Akhenaten wafat (sekitar 1334 SM), Mesir segera menjalankan restorasi. Penguasa berikutnya, terutama Tutankhaten (anak/menantunya) mengembalikan pemujaan Amun dan dewa tradisional. Tutankhaten bahkan mengubah namanya menjadi Tutankhamun untuk menghormati Amun yang “dipulihkan” sebagai dewa utama (Britannica). Nasib Aten dan Akhenaten pun bak dihapus dari sejarah resmi: monumen-monumen Akhenaten dibongkar, patung-patungnya dihancurkan, dan namanya tidak dicantumkan dalam daftar raja yang disusun firaun-firaun sesudahnya (Wikipedia). Para penerusnya menyebut Akhenaten hanya sebagai “musuh” atau “penjahat” dalam arsip kerajaan. Kota Akhetaten ditinggalkan, kuil-kuil Aten ditutup, bahkan balok-balok batu bertuliskan nama Aten dipakai ulang sebagai bahan bangunan di kuil lain – seolah “mengubur” jejaknya.
Penemuan Kembali oleh Arkeolog Modern
Upaya penghapusan ini cukup efektif sehingga selama ribuan tahun sedikit sekali yang diketahui tentang Akhenaten dan Aten. Nama Akhenaten nyaris tenggelam dari ingatan sampai akhirnya kota Amarna (Akhetaten) ditemukan kembali pada akhir abad ke-19 (Wikipedia). Penggalian arkeologi mengungkap prasasti, patung, dan dokumen (Amarna Letters) yang membuka tabir reformasi Aten yang pernah terjadi. Ironisnya, justru melalui jejak-jejak tersembunyi inilah kini Akhenaten dikenal sebagai firaun “revolusioner” – meski bagi penerusnya ia dianggap bidah. Kasus Aten menunjukkan bagaimana sebuah rezim bisa berupaya menghapus satu dewa dari sejarah, namun peninggalan materiil dan penelitian modern berhasil menghidupkan kembali kisahnya untuk generasi kita.
Baal – Dewa Rival yang Dicap Sesat dan Dihapus di Levant

Kepopuleran Baal di Dunia Kanaan
Contoh lainnya datang dari kawasan Levant (Timur Dekat kuno), di mana Baal – nama umum bagi dewa “pemilik/tuan” dalam tradisi Kanaan – menjadi objek penghapusan oleh bangkitnya agama monoteistik. Baal awalnya adalah dewa kesuburan dan badai yang sangat dihormati di kalangan bangsa Kanaan, Fenisia, hingga sebagian orang Israel kuno. Banyak kota punya Baal lokal masing-masing (misal Baal-Hadad di Ugarit sebagai dewa badai/petir). Namun, ketika kepercayaan kepada Yahweh tumbuh di Kerajaan Israel dan Yehuda, kultus Baal dipandang sebagai saingan yang berbahaya.
Pertentangan dengan Penyembah Yahweh
Naskah Alkitab Ibrani mencatat pertentangan sengit antara penyembah Yahweh dan Baal. Nabi Elia terkenal menantang ratusan imam Baal di Gunung Karmel dan membuktikan Yahweh sebagai Tuhan yang “benar”, diikuti pembantaian para imam Baal (1 Raja-raja 18). Peristiwa tersebut mencerminkan upaya menggoyahkan legitimasi kultus Baal di mata rakyat. Puncak “penghapusan” Baal terjadi pada kudeta Jehu (raja Israel, abad ke-9 SM): ia memusnahkan keluarga Ahab (yang mempopulerkan Baal lewat pengaruh Ratu Izebel) dan menghancurkan kuil Baal di Samaria, menewaskan imam-imamnya, serta menjadikan reruntuhannya sebagai jamban – simbol penghinaan total jewishencyclopedia.com. Kitab 2 Raja-raja 10:28 bahkan menulis, “Demikianlah Jehu memunahkan Baal dari Israel.” Dengan kata lain, melalui revolusi berdarah dan larangan resmi, penyembahan Baal di Kerajaan Utara Israel dibasmi secara brutal.
Penindasan Kultus Baal di Yehuda
Di Kerajaan Yehuda (Selatan), kultus Baal sempat masuk melalui pengaruh Ratu Atalya, tapi berumur pendek. Setelah Atalya digulingkan, penindasan terhadap Baal di Yehuda juga terjadi disertai kerusuhan sipil jewishencyclopedia.com. Raja-raja monoteis berikutnya seperti Hizkia dan Yosia melakukan reformasi besar: merobohkan altar-altar Baal, menyingkirkan “tiang-tiang Asyera” (objek kultus pendamping Baal), dan melarang praktik sinkretis. Pemujaan “dewa asing” dianggap perbuatan tercela, sehingga nama Baal dilekatkan dengan konotasi negatif. Menariknya, para penyunting kitab suci Ibrani di kemudian hari mengganti penyebutan “Baal” dengan kata ejekan. Contohnya, nama putra Raja Saul yang aslinya Eshbaal (“Pria [dewa] Baal”) diubah menjadi Ish-boshet yang artinya “Pria Memalukan”, karena boshet berarti ‘aib’ jewishencyclopedia.com. Demikian pula Merib-baal diganti jadi Mephiboshet. Ini menunjukkan upaya literer untuk menghapus nama Baal dari kenangan, digantikan istilah penghinaan.
Rehabilitasi Baal dalam Kajian Modern
Meskipun propaganda Yahudi berhasil menjatuhkan reputasi Baal (hingga dalam tradisi Kristen kemudian Baal diasosiasikan dengan setan, misal Beelzebub diyakini berasal dari gelar Baal Zebul, “Tuan Lalat”), jejak historis Baal tak sepenuhnya hilang. Prasasti Kanaan, teks Ugarit, dan penelitian arkeologi di situs-situs Levantine telah mengungkap banyak tentang sifat asli Baal dalam mitologi kuno – sebagai dewa hujan, petir, putra Dewa El, penakluk Yam (laut) dan Mot (maut), dsb. Bagi para ahli, kasus Baal ini memberi contoh bagaimana pergeseran politik-religius (dari politeisme ke monoteisme) bisa mengkambinghitamkan dan “menghapus” dewa lama. Namun, bukti-bukti tekstual dan temuan arkeologis (tablet-tablet tanah liat, relief, nama tempat yang mengandung “Baal”) berhasil merekonstruksi kembali eksistensi kultus Baal yang pernah jaya sebelum akhirnya ditekan hingga punah dari praktik mainstream jewishencyclopedia.com.
Elagabal – Dewa Matahari Asing yang Dipaksakan di Roma Lalu Disingkirkan

Pengangkatan Dewa Elagabal ke Pusat Kekaisaran
Pada abad ke-3 M, Kekaisaran Romawi juga memiliki kisah “dewa terhapus” yang unik terkait Kaisar Elagabalus (nama aslinya Varius Avitus Bassianus). Nama julukan Elagabalus sendiri berasal dari Elagabal (kadang disebut El-Gabal atau Heliogabalus), dewa matahari utama dari kota Emesa di Suriah. Sebelum menjadi kaisar, remaja Elagabalus adalah imam besar dewa tersebut. Ketika naik takhta di Roma tahun 218 M, ia membawa batu meteorit hitam sakral simbol Elagabal ke Roma dan menjadikan kultus dewa asing ini sebagai agama resmi negara, menggusur posisi Jupiter (dewa utama Romawi) (Wikipedia).
Ia membangun kuil megah bernama Elagabalium di Bukit Palatine untuk menempatkan batu suci Elagabal (Wikipedia – Elagabalium). Bahkan, ia memindahkan relik-relik paling keramat agama Romawi – api suci Vesta, perisai suci Salii, dan patung Palladium Minerva – ke kuil baru itu, seolah-olah semua dewa lain kini harus tunduk pada Elagabal.
Skandal Religius dan Penolakan Politik
Langkah Elagabalus jelas menantang tradisi dan dianggap skandal religius di mata elit Romawi. Ia memaksa para senator Romawi ikut upacara ala Suriah (menari mengelilingi altar dengan musik drum dan simbal), menikahi seorang Vestal Virgin (pendeta perawan Vesta) demi menyatukan dewa matahari pria dengan dewi api wanita, dan bertingkah nyeleneh lainnya yang mengundang kebencian publik (Wikipedia – Controversy).
Hasilnya, hanya dalam empat tahun, ia kehilangan dukungan. Tahun 222 M, Elagabalus dibunuh oleh pengawalnya sendiri. Begitu ia tewas, kultus Elagabal langsung diturunkan statusnya: kaisar penerusnya (sepupunya, Alexander Severus) segera merestorasi kembali penghormatan kepada Jupiter dan dewa-dewi Romawi lainnya. Kuil Elagabalium pun diselewengkan fungsinya – dalam catatan sejarah disebutkan bahwa setelah kematian Elagabalus, kuil tersebut ditahbiskan ulang untuk Jupiter oleh Alexander Severus (Livius.org).
Damnatio Memoriae dan Warisan Tak Terhapuskan
Pada dasarnya, nama Elagabalus dicoret dari sejarah Romawi dengan rasa malu. Senat melakukan damnatio memoriae: patung dan relief Elagabalus dihancurkan, namanya dihapus dari prasasti, dan dokumen resmi mencoba melupakan masa pemerintahannya yang dianggap aib.
Namun seperti kasus-kasus lainnya, jejak material dan catatan sampingan tetap bertahan. Koin-koin Romawi dari 219–222 M memuat gambar dewa Elagabal (matahari bermahkotakan batu suci) – ini tak bisa dihapus karena sudah terlanjur beredar. Selain itu, sejarawan seperti Cassius Dio dan Herodian (meski sangat bias) menulis kisah Elagabalus sehingga dunia modern tetap mengetahui peristiwanya (Wikipedia – Historiography).
Kemunculan Kembali dalam Wujud Sol Invictus
Menariknya, sekitar setengah abad kemudian, kultus dewa matahari kembali muncul dalam bentuk Sol Invictus pada masa Kaisar Aurelian (270–275 M). Aurelian menjadikan Sol Invictus sebagai agama resmi negara – mungkin terinspirasi sebagian oleh upaya Elagabalus sebelumnya, meski dengan pendekatan yang lebih bisa diterima oleh warga Roma (The Cult of Sol Invictus, Brill 1972). Ini menunjukkan bahwa upaya “menghapus” dewa dalam konteks politik Romawi seringkali berarti pengembalian status quo religius, tetapi ide ketuhanan yang coba dihilangkan bisa muncul kembali dalam wajah baru.
Lilith – Dewi Malam yang Dijadikan Iblis dan Dihapus dari Mitologi Arus Utama

Asal-Usul Lilith dalam Mitologi Mesopotamia
Tidak semua bentuk “penghapusan” dewa terjadi secara fisik atau politis langsung; sebagian justru berlangsung secara konseptual dalam rentang waktu yang sangat panjang. Salah satu contoh paling menarik adalah figur Lilith, yang asal-usulnya dapat ditelusuri ke dalam mitologi Sumeria dan Babilonia kuno, namun kemudian diubah secara drastis melalui proses demonisasi dalam tradisi keagamaan Ibrani dan Yahudi.
Dalam bahasa Sumeria dan Akkadia, istilah Lilû (maskulin) dan Lilītu (feminin) merujuk pada roh-roh malam atau demon. Namun, ada indikasi kuat bahwa Lilith dahulu dipandang sebagai sosok semi-ilahi. Salah satu bukti utamanya adalah Burney Relief (sekitar 1800 SM), yang menggambarkan figur wanita bersayap, berkaki burung hantu, berdiri di atas singa, dan diapit dua burung hantu – banyak arkeolog meyakini ini adalah Lilitu, dewi malam atau “Lady of the Night” (ac.nau.edu). Dalam tradisi Kanaan, sosok sejenis disebut Baalat (feminin dari Baal), menunjukkan bahwa Lilith pernah dihormati sebagai entitas adikodrati yang memegang kekuatan malam, bukan sekadar makhluk jahat.
Transformasi Konsep dan Demonisasi dalam Tradisi Yahudi
Perubahan besar terjadi saat konsep Lilith diadopsi ke dalam Alkitab Ibrani dan kemudian literatur rabinik Yahudi. Dalam teks kitab Yesaya 34:14, Lilith hanya disebut sekali sebagai makhluk malam penghuni padang gurun, tanpa penjelasan lebih lanjut. Namun, dalam midrash dan folklor Yahudi Abad Pertengahan, Lilith berkembang menjadi istri pertama Adam yang menolak tunduk, melarikan diri dari Eden, dan berubah menjadi iblis wanita penggoda pria serta pencabut nyawa bayi.
Proses demonisasi ini mencerminkan pergeseran ideologi patriarkal. Para cendekia mencatat bahwa figur perempuan kuat dan mandiri seperti Lilith dipandang mengancam tatanan sosial patriarkis, sehingga harus direduksi menjadi sosok jahat yang ditakuti. Karakteristik Lilith yang bebas, seksual, dan otonom dipelintir menjadi ancaman moral dan keluarga – dan dari sinilah ia dianggap sebagai she-demon (ac.nau.edu).
Dalam budaya Yahudi, muncul berbagai amulet, mantra, dan ritual khusus untuk menangkal Lilith, terutama bagi ibu hamil dan bayi. Ini menandai penghapusan total peran Lilith sebagai entitas ilahi atau netral dalam mitologi arus utama.
Lilith di Pinggiran Teologi dan Kebangkitan Kultural Modern
Sebagai hasil dari demonisasi ini, nama Lilith absen dari doa dan ritual resmi agama besar mana pun. Ia benar-benar “dihapus” dari struktur teologi yang mapan dan hanya tersisa dalam legenda rakyat sebagai figur terlarang. Namun, memori kulturalnya tidak sepenuhnya hilang.
Penemuan jimat-jimat Mesopotamia, pahatan kuno, dan naskah-naskah akademis menunjukkan bahwa Lilith dulunya memiliki status dan fungsi yang jauh lebih kompleks. Kini, dalam konteks modern, Lilith justru diangkat kembali dalam kajian feminis dan budaya populer sebagai simbol pemberontakan perempuan terhadap sistem patriarki yang menindas.
Penutup: Penghapusan Lewat Perubahan Makna
Kisah Lilith memperlihatkan bentuk “penghapusan dewa” yang unik – bukan dengan pedang atau dekrit, melainkan lewat perubahan narasi dan citra. Dari dewi malam yang dihormati, ia diubah menjadi iblis wanita pembawa malapetaka. Tetapi seiring perkembangan zaman, jejak sejarah dan reinterpretasi budaya membangkitkan kembali figur ini, kali ini dalam cahaya baru: bukan sebagai ancaman, melainkan sebagai simbol kekuatan dan otonomi perempuan.
Penutup: Ketika Para Dewa Dihapus, Tapi Tak Pernah Benar-Benar Hilang
Dari paparan kisah Aten, Baal, Elagabal, hingga Lilith, tampak jelas bahwa upaya menghapus sosok ilahi dari sejarah berakar pada pergolakan kekuasaan, perubahan ideologi, dan rekonstruksi nilai-nilai dalam masyarakat. Firaun Mesir yang menulis ulang sistem kepercayaan, nabi dan raja yang memurnikan doktrin monoteisme, atau elit politik Romawi yang menekan kultus asing – semuanya menggunakan strategi yang mirip: menghapus pengaruh lama yang dianggap mengancam dominasi baru.
Alat yang digunakan pun beragam:
-
Damnatio memoriae (penghapusan nama dan wujud dari catatan sejarah)
-
Perusakan tempat ibadah dan simbol keagamaan
-
Pelabelan negatif dan demonisasi
-
Sinkretisme atau penggantian atribut dewa lama ke sosok baru
Namun pada kenyataannya, jejak sejarah tidak pernah benar-benar bisa dihapus.
- Aten memang terkubur dalam pasir waktu.
- Baal dicemarkan dan dipinggirkan.
- Elagabal dihancurkan secara simbolik dan politis.
- Lilith diubah menjadi sosok iblis.
Upaya manusia untuk menghapus dewa dari sejarah mungkin bisa mengaburkan permukaan cerita, tapi jejak mereka tetap ada, menunggu untuk ditemukan kembali — dan dimaknai ulang oleh generasi masa kini.
Referensi:
-
Tyldesley, Joyce. Akhenaten: Egypt’s False Prophet. Penguin, 2001.
-
Bryce, Trevor. The Kingdom of the Hittites. Oxford University Press, 2005 (untuk konteks Baal di Levant).
-
Bianchi, Robert (ed.). The Cult of Sol Invictus. Brill, 1972.
-
Patai, Raphael. The Hebrew Goddess. Wayne State University Press, 1990 (membedah transformasi figur dewi ke demon, termasuk Lilith).
-
id.wikipedia.orgid.wikipedia.org Bukti penghapusan jejak Akhenaten dan Aten pasca kematiannya (monumen dihancurkan, nama dihapus dari daftar raja)
-
britannica.combritannica.com Reformasi Akhenaten mendewakan Aten dan menghapus nama-nama dewa lama; setelah ia wafat kultus Aten lenyap dipulihkan ke Amun
-
jewishencyclopedia.comjewishencyclopedia.com Pemberangusan kultus Baal di Israel/Yehuda melalui revolusi berdarah dan penggantian nama Baal dengan sebutan hinaan dalam naskah
-
en.wikipedia.orglivius.org Kaisar Elagabalus memaksakan kultus dewa Elagabal di Roma, namun setelah ia terbunuh kuil barunya ditahbiskan ulang untuk Jupiter (menandai akhir resmi kultus tersebut)
-
ac.nau.eduac.nau.edu Figur Lilith dalam tradisi Mesopotamia sebagai dewi malam “Lady of the Night”, lalu pergeseran dalam tradisi Abrahamik yang menjadikannya demon (menggambarkan penghapusan aspek ilahinya).


